Etika dan Hukum Pres

by Sabtu, Maret 31, 2012 1 komentar
Jika ada kasus pelanggaran jurnalisme, pendapat masyarakat segera terpecah dua. Mereka, terutama dari kalangan jurnalis/pers, ingin persoalan diselesaikan secara etika, yaitu menerapkan kode etik profesi jurnalisme. Mereka yang lain, perutama penegak hukum, minta diselesaikan secara hukum, berproses ke pengadilan. Manakala jalan yang terakhir tersebut diambil maka kalangan pers
akan mengatakannya sebagai kriminalisasi pers, kesalahan pers dianggap sama dengan tindak kejahatan biasa, misalnya mencuri, membunuh, merampok, dan menipu. Karya jurnalisme adalah karya intelektual, yang tidak mungkin disamakan dengan karya keterampilan mencopet, misalnya.

Pemerintah dominanPada masa pemerintahan Soeharto, berlaku UU Pers No 21/1982, yang menempatkan kedudukan dan peran pemerintah sangat dominan. Pers media cetak dikendalikan
dengan pemberian izin yang ketat dan pers media elektronika kebanyakan dikuasai oleh keluarga orang-orang sangat penting. Pada periode itu, untuk wartawan, hanya diakui satu organisasi yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tidak ada wartawan yang bukan anggota PWI. Bila media melakukan kesalahan jurnalismemaka wartawan tersebut pertama-tama dikeluarkan dari keanggotaan PWI, yang otomatis tidak bisa lagi mencari nafkah melalui kegiatan jurnalisme.

Tidak jarang, jika ada wartawan dianggap melanggar seperti itu, dilakukan tindakan politis oleh pemerintah, yakni penghentian terbit. Ini kasus contohnya adalah pada Tabloid Monitor, yang memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Nabi Muhammad SAW terpilih menjadi tokoh nomor 11 sementara Arswendo Atmowiloto, pimpinan Tabloid Monitor terpilih menjadi tokoh nomor 10. Sebagian masyarakat Muslim marah, terjadi keresahan di tengah masyarakat.

Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai dihukum penjara. Mestinya kasus ini cukup diproses secara hukum kalau dianggap terjadi tindak pidana berat tanpa harus mematikan terbitnya Tabloid Monitor. UU Pers yang sekarang lebih maju dan reformis. UU ini dilahirkan pada periode Presiden BJ Habibie. Untuk
mendirikan media cetak, tidak perlu lagi izin. PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Sebanyak 26 organisasi wartawan membuat kode etik bersama yang diberi nama Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). PWI sendiri tetap mempunyai Kode Etik Jurnalistik PWI, yang hanya berlaku untuk anggota-anggotanya.

Pasal 7 Ayat 2 UU Pers No 40/1999 menyebutkan bahwa wartawan Indonesia mempunyai dan menaati kode etiknya. Pada bagian yang lain (Pasal 15 Ayat 2c), Dewan Pers diberi kewenangan untuk memutuskan KEWI sebagai kode etik wartawanyang dipakai bersama dan mengawasi pelaksanaannya. Karena dinyatakan dalam UU Pers maka KEWI mempunyai implikasi hukum. Beberapa hal yang ada di dalam KEWI, yang sebetulnya berlingkup etika profesi atau norma, juga ''ditingkatkan'' ke tataran hukum.Dua ujung Pelanggaran yang dilakukan oleh wartawan dalam bentuk karya jurnalismenya, diharapkan cukup diselesaikan dengan mekanisme jurnalisme juga. Media yang memuatnya wajib membuat perbaikan atau ralat tulisan yang pertama, dalam format yang kurang lebih sama. Ini dikenal sebagai Hak Jawab yang dimiliki masyarakat dan media harus melayaninya. Manakala media tidak melayani Hak Jawab diancam hukuman denda paling tinggi Rp 500 juta (Pasal 18 Ayat 2).

Sering media kurang memperhatikan kemungkinan dia melanggar tatanan. Jika pihak yang merasa dirugikan bereaksi dalam bentuk somasi sekalian mengancam tuntutan ganti rugi, baru terkejut. Tuntutannya cukup besar sampai miliaran rupiah, yang membuat pusing media. Media lalu mencoba cari akses ke pihak penuntut termasuk pengacaranya. Biasanya terjadi tawar menawar. Media menawarkan lipuan khusus sebagai imbalan tulisan yang dianggap merugikan tersebut atau pemuatan tulisan perbaikan tanpa revisi. Mahkamah Agung pernah berpendapat, tidak digunakannya hak jawab oleh seseorang yang dirugikan berarti yang bersangkutan mengakui bahwa tulisan tersebut benar. Pendapat MA ini terjadi pada tahun 1993 atas perkara Harian Garuda, Medan, dan pembacanya, yang dikalahkan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. MA menyatakan, berita-berita yang telah dimuat Garuda tidak tergolong sebagai perbuatan melawan hukum. Tapi sayang, keputusan MA tidak dipakai sebagai yurisprudensi.

Pihak lain di dalam masyarakat ingin memproses ke pengadilan, baik setelah mendapatkan layanan hak jawab maupun tidak. Warga yang merasa dirugikan nama baiknya (pencemaran nama baik) oleh media cetak langsung protes atau menggugat melalui Dewan Pers. Dewan Pers kemudian mencarikan penyelesaian dengan muara penggunaan hak jawab. Jika yang bersangkutan belum puas, dia masih bisa melapor ke polisi untuk proses ke pengadilan, melalui proses hukum pidana. Bisa juga dia langsung melapor ke polisi tanpa menggunakan hak jawab.

Di lingkungan Kode Etik Jurnalistik PWI ada kebiasaan baik. Mereka yang mengajukan perkara ke Dewan Kehormatan PWI Pusat harus menyatakan jika menggunakan proses hak jawab tidak perlu lagi mengajukan proses pengadilan. Di sini ada pilihan yang tegas. Sikap mendua sebaiknya diakhiri. Kalangan pers ingin tidak ada lagi kriminalisasi pers. Paling tinggi kalau ada perkara hasil karya wartawan hukumannya bukan penjara kurungan melainkan denda (perdata), yang tidak dibayar oleh pribadi wartawan yang bersangkutan melainkan dibayar oleh perusahaannya.

Siapa yang bertanggung jawab? Pada zaman UU Pers No 11/1966 dan UU No. 21/1982, pertanggungjawaban yuridis berjenjang seperti air terjun. Jika terjadi pelanggaran pidana pemberitaan maka yang bertanggung jawab adalah pimpinan, yang bisa menurunkan tanggung jawabnya kepada redaktur atau pun reporter. Mungkin karena sejarah, biasanya yang tetap tampil sebagai penanggung jawab di pengadilan adalah pimpinan redaksi. Namun, menurut UU Pers No 40/1999, jika terjadi tindak pidana pers maka berlaku undang-undang yang telah ada, yakni tidak bisa tidak mestilah KUHP. Itu disebut dalam Penjelasan Pasal 12 UU No. 40/1999. Pertanggungjawaban menurut KUHP adalah siapa yang berbuat harus bertanggung jawab.

Proses yang dijalani oleh obyek berita adalah pengaduan ke Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Media yang memuat/menyiarkan berita tersebut dipanggil oleh Dewan Pers, diminta klarifikasi. Jika menurut penilaian Dewan Pers, berdasar KEWI, tidak terjadi pelanggaran maka media itu bebas. Bila ternyata media bersalah maka media ini wajib melayani hak jawab. Masih ada pendapat yang perlu diperhatikan, yakni yang mengatakan semua orang berposisi sama dalam tatanan hukum. Artinya, tidak ada keistimewaan yang melekat pada subyek hukum yang berprofesi tertentu. Wartawan diposisikan sama dengan siapa saja terhadap hukum. Karena perbuatan pidana, wartawan akan ditindak dengan KUHP. Persoalannya adalah apakah jika ada pelanggaran atas karya jurnalisme, itu tindak pidana dengan ancaman kurungan ataukah tindak kesalahan profesi.

KPI Ancam Kebebasan Media Penyiaran

Langkah Komisi Penyiaran  (KPI) yang memidanakan RCTI  terkait kasus ‘Silet’ dengan melaporkan ke Mabes Polri, membuat  terguncang. Juru bicara RCTI, Arya Mahendra Sinulingga mengatakan, perlindungan terhadap industri media yang selama ini dipercayakan pada KPI seolah menguap. Bagaimana tidak, KPI yang lahir dari semangat reformasi justru mengambil langkah yang menakuti awak media dengan aksi pelaporannya tersebut.“Wajah Departemen Penerangan ala Orde Baru yang represif, kini mulai nampak kembali,” kata Arya. Wajar jika nuansa ketakutan mulai merebak di tengah para awak media. Padahal awalnya KPI lahir dengan semangat reformasi untuk menggantikan Departemen Penerangan ala Orde Baru yang gemar memberangus kebebasan pers. “Oknum KPI saat ini justru menunjukkan abuse of power dan hal-hal yang dulu lekat dengan citra Departemen Penerangan. Itu sangat menakutkan,” ujar juru bicara RCTI, Arya Mahendra Sinulingga (1/12/2010). Dijelaskan Arya, pihaknya telah mengikuti seluruh proses yang disyaratkan dan telah menyampaikan keberatan atas sanksi yang diberikan KPI. Namun KPI justru memandang langkah RCTI mengajukan surat keberatan tersebut sebagai sebuah pembangkangan. Padahal  sebuah kasus, setiap pihak yang terlibat di dalamnya berhak untuk menyampaikan klarifikasi dan keberatan atas sanksi atau pun tuntutan yang dijatuhkan.

Ruang demokrasi yang berusaha dimanfaatkan oleh RCTI dengan mengajukan keberatan justru berusaha diberangus oleh KPI dengan melakukan pelaporan ke Mabes Polri.“Bukankah media seharusnya diberi ruang demokrasi untuk menyampaikan klarifikasi? Kenapa justru dianggap sebagai bentuk pembangkangan?,” imbuh Arya.Pemerhati media dan mantan wartawan senior, Adhie M. Massardi mengungkapkan penilaiannya bahwa sikap KPI menunjukkan lembaga tersebut yang powerfull. “Harus dibentuk Badan Kehormatan yang bisa mengevaluasi keputusan-keputusan KPI. Ini penting karena KPI begitu powerfull, memiliki fungsi regulasi hingga eksekutor. Akibatnya proses penyidikan, tuntutan, penjatuhan hukuman, sampai dengan ekseskusi, dilakukan sendiri oleh KPI. Itu rentan penyalahgunaan wewenang,” tegas Adhie. 

Adhie juga memandang, upaya hukum KPI terhadap RCTI ini perlu dikaji ulang. Dia melihat, persoalan pemberian sanksi terhadap RCTI ini lebih berdasarkan asumsi dan persepsi yang berkembang ketimbang fakta-fakta hukum yang terjadi. Adhie menegaskan, memutuskan suatu perkara, KPI tidak boleh berdasarkan atas persepsi masyarakat yang sangat heterogen. Sementara itu sikap KPI juga terlihat tidak proporsional dengan mengabaikan langkah koreksi yang telah dilakukan RCTI.

RCTI sebagai stasiun televisi yang menayangkan Silet sendiri telah secara terbuka menyampaikan permohonan maaf atas pemberitaannya, kepada masyarakat Yogyakarta dan warga korban Merapi pada khususnya. Permohonan maaf tersebut disiarkan  running text maupun pesan layanan masyarakat yang diputar di RCTI. “Itu adalah wujud tanggung jawab sosial kami terhadap adanya koreksi dari masyarakat, makanya dengan kooperatif kami langsung meminta maaf secara terbuka. Bahkan sebelum ada perintah dari KPI,” ujar Arya. Tak hanya itu, RCTI juga telah membuat tayangan khusus demi menyeimbangkan pemberitaan yang sebelumnya. Nyatanya, berbagai langkah koreksi dan klarifikasi yang dilakukan oleh RCTI itu diabaikan oleh KPI. Cara KPI menyikapi kasus ‘Silet’ itu hanyalah satu contoh  yang terjadi dari beragam persoalan yang ada. Jika hal tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin langkah penanganan kasus- lainnya juga akan dilakukan secara represif. Itu tentunya sangat mengkhawatirkan. Kebebasan pers dan dunia jurnalistik bisa terjungkir balik seperti masa Orde Baru lagi.

RCTI yang telah menyampaikan keberatannya, kini berencana mengambil langkah untuk membawa kasus ini ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). “Di tengah kebingungan dan ketakutan ini, kami berharap bisa mendapat kepastian hukum di PTUN,” pungkas Arya.

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

1 komentar:

  1. "Hi!..
    Greetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
    visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
    Ejurnalism

    BalasHapus