Beberapa orang pandu dan pemuda Republikein, masing-masing membawa obor, bersiap membakar tumpukan kayu untuk membuat api unggun. Para pemuda lainnya duduk mengelilingi hangatnya tabunan. Malam itu adalah perhelatan peringatan yang ketiga berdirinya Republik Indonesia, yang digelar di halaman rumah Bung Karno.

Setahun sebelumnya, mereka baru terlepas dari dera aksi polisionil lantaran perbedaan penafsiran Belanda dan Republik Indonesia terhadap isi Perundingan Linggarjati.

Meski proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan sejak 1945 dan berita lahirnya Republik Indonesia telah menyeruak ke seantero dunia, kedaulatan tampaknya belum sepenuhnya ada di tangan para bangsa ini. Pada kenyataannya, Belanda masih sangat berhasrat untuk mengambil permatanya yang hilang ini.

Pada 16 Agustus 1948 itu, polisi Belanda melepaskan serentetan tembakan yang menyebabkan korban di pihak pemuda. Malam itu terjadi huru-hara. Bentrokan pemuda dan polisi menyebabkan beberapa pemuda lain terluka. Namun, Soeprapto Dwidjosewojo, seorang pandu, tertembak dan nyawanya tak dapat diselamatkan.

Polisi Belanda berhasil menduduki rumah Bung Karno yang sejak 1 Juli 1948 resmi dijadikan Gedung Pemerintah Republik Indonesia. Mereka merampas dokumen-dokumen Pemerintah RI. Kejadian ini menyebabkan terjadinya ketegangan politik kembali lantaran Pemerintah RI merasa dilanggar kekebalan diplomatiknya.

Sebuah foto menunjukkan jenazah pandu Soeprapto terbujur kaku di ranjang rumah sakit yang berseprai putih. Mata dan mulutnya tertutup kapas. Pundak kirinya terbungkus perban. Seorang perawat tampak sedang membuka selimut putih untuk memberi kesempatan fotografer mengabadikan sosok terakhir sang pandu. Mungkin Mendur bersaudara yang memotretnya.

Esok paginya, tepat di hari perayaan ulang tahun Republik, Roemah Sakit Pergoeroean Tinggi Salemba diduduki oleh polisi Belanda. Puluhan dokter dan ratusan perawat meninggalkan pekerjaannya. Mereka menyerukan ketidaksenangan terhadap kejadian ini. "Sekali Republikein, tetap Republikein!"  

Seminggu setelah bentrokan, ayah pandu Soeprapto yang bernama Mr Dwidjosewojo mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pegawai suatu institusi peninggalan Hindia Belanda. Peristiwa tersebut juga menuai simpati tak hanya dari kalangan Republik, tetapi juga warga Belanda. Seorang kolega Mr Dwidjosewojo yang juga pejabat Belanda, Dr Verdoorn, turut meletakkan jabatannya dan mengundurkan diri dari pekerjaan.
Kini aku harus bisa kembali dalam dunia ku, dunia yang penuh dengan imajinasi dan kejutan-kejutan, dalam kehidupan kadang kalah banyak naik turun entah bagaimana dan kapan semuanya akan berakhir dalam kurun waktu.

Setidaknya masih banyak orang-orang yang peduli dan mau berbagi satu sama lain, tanpa melihat siapa kamu, siapa diri ku ini. itu semua tidak penting dalam soal kehidupan, banyak orang-orang di luar sana yang masih belum aku ketahui dan aku kenal

Dan kini aku mencoba untuk terus pergi dan pergi meninggalkan kedua orang tua ku tanpa sebab dan akibat ini bukan semata-mata aku harus lari dari tanggung jawab yang selama ini beliau berikan, jalan ku sudah mulai kembali menuju tempat dan memberikan kebahagiaan kepada beliau yang selama ini sudah sabar menghadapi ku.

Aku tidak peduli sama orang-orang yang selalu berbicara di belakang, aku sudah tidak peduli dengan kesenangan semata waya saja, sebab itu sama halnya dengan membunuh waktu yang amat singkat, sudah terlalu banyak aku mengeuh sudah banyak aku menyusahkan.

Kini aku mecoba untuk menentukan kemana arah ku akan berlabu dan kemana aku harus berlayar demi masa depan, masa dimana orang-orang mengharapkan kesenangan dalam dunia ini, dunia hanya sebagai sekenario semata waya, yang suatu saat akan di mintai pertanggung jawaban kepada sang maha kuasa.

Dunia ku kini mulai sempit hingga tidak pernah tau kemana aku akan pergi dan kemana aku akan berlabu, aku mencoba untuk pergi ke dalam jalan pikiran ku sendiri, dalam khayalan semata waya ku, aku sadar aku bukan orang yang pandai dan bijaksana mungkin jalan ini aku bisa menemukan apa yang aku harapkan selama ini.

Aku pun tidak pernah tau kemana jalanku, kemana aku akan melakukan masa depan yang lebih baik, yang lebih dari ini semua, sempit pemikiran ini membuat aku jenuh dan tak tau aku harus mengadu kepada siapa, bersandar kemana.

Hanya arah angin yang bisa membimbingku kemana aku akan pergi.